Selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Pulau Jawa dan Bali, pemerintah mewajibkan semua sektor usaha yang tidak termasuk kategori esensial dan kritikal untuk menerapkan sistem work from home (WFH). Kebijakan ini bertujuan untuk menekan laju penyebaran wabah COVID-19 yang sempat membuat fasilitas layanan kesehatan di berbagai kota kewalahan.
Baca Juga: Perhitungan Lembur Terbaru Berdasarkan UU Cipta Kerja
Sebenarnya, aturan bekerja dari rumah bukanlah hal baru bagi sejumlah perusahaan dan karyawan. Ini merupakan kali kedua sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan pada 2020 lalu sebagai respons atas gelombang pertama pandemi di Indonesia.
Meski demikian, praktik WFH hingga kini masih tetap menyisakan beberapa masalah. Salah satunya, banyak karyawan yang mengeluhkan batasan jam kerja yang tidak jelas dan lebih panjang dibanding work from office (WFO). Tuntutan kantor menjadi lebih besar karena manajer dan atasan beranggapan bahwa staf mereka yang bekerja dari rumah tidak akan terbebani dengan tambahan tugas.
Akibatnya, karyawan WFH kerap bekerja melebihi jam kerja normal atau diminta menyelesaikan pekerjaan di akhir pekan yang seharusnya menjadi hari istirahat mingguan bagi mereka. Tidak sedikit karyawan yang mengaku lebih lelah selama WFH dibanding WFO karena mereka merasa sulit melepaskan diri dari urusan pekerjaan meski berada di rumah.
Mengutip Katadata, survei yang dilakukan Blind, sebuah aplikasi komunitas workplace, terhadap lebih dari 3 ribu pekerja di 40 perusahaan, termasuk raksasa teknologi Amazon, Microsoft, T-Mobile, Apple, Linked-In, dan Google, menemukan 68% responden WFH mengaku mengalami kelelahan mental dibanding bekerja dari kantor dan 60% responden merasakan jam kerja bertambah.
Masalah lainnya adalah ada sebagian perusahaan yang tidak menghitung kelebihan jam kerja tersebut sebagai kerja lembur yang seharusnya dibayarkan upahnya. Seolah-olah, karyawan WFH tidak berhak atas upah lembur karena bekerja di rumah.
Bagaimana sebenarnya aturan upah lembur Depnaker untuk karyawan WFH selama pandemi? Bolehkah perusahaan tidak membayar upah lembur karyawan yang bekerja dari rumah di luar jam kerja?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat kembali aturan upah lembur dalam UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020. Dalam aturan ketenagakerjaan ini, ketentuan mengenai waktu kerja maupun upah lembur berlaku tanpa membedakan karyawan WFO maupun WFH.
Ketentuan waktu kerja
Setiap perusahaan di Indonesia wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja yang ditetapkan dalam UU Cipta Kerja Pasal 81 Poin 21 tentang perubahan Pasal 77 UU Ketenagakerjaan, yakni:
- 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja seminggu, atau
- 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja seminggu
Pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, misalnya mengenai jam masuk, istirahat, dan selesai kerja. Setiap perusahaan bisa berbeda dalam pelaksanaan jam kerja, seperti menerapkan aturan shift kerja untuk perusahaan yang beroperasi lebih dari 8 jam sehari atau untuk jenis pekerjaan terus-menerus.
Ketentuan waktu kerja di atas tidak berlaku untuk sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu. Menurut PP No 35 Tahun 2021, perusahaan pada sektor tertentu dapat menerapkan waktu kerja kurang dari ketentuan UU apabila:
- Penyelesaian pekerjaan kurang dari 7 jam sehari dan 35 jam seminggu
- Waktu kerja fleksibel
- Pekerjaan dapat dilakukan di luar lokasi kerja
Sebaliknya, perusahaan pada sektor tertentu juga dapat menerapkan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu, yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri.
Syarat kerja lembur
Nah, bagaimana jika karyawan WFH bekerja melebihi jam kerja hariannya, misalnya seorang staf diminta atasannya untuk menyelesaikan pekerjaan pada malam hari atau pada libur akhir pekan?
Sekalipun bekerja dari rumah, bukan berarti perusahaan dapat mempekerjakan karyawan selama 24/7. Ketentuan waktu kerja 7 atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu tetap berlaku untuk WFH, sehingga kelebihan jam kerja karyawan wajib dihitung sebagai kerja lembur dan dibayar upahnya.
Pengusaha yang memerintahkan karyawan WFH bekerja lembur harus memenuhi syarat:
- Ada persetujuan dari pekerja yang bersangkutan
- Waktu kerja lembur paling lama 4 jam sehari dan 18 jam seminggu, tidak termasuk lembur pada hari libur resmi dan istirahat mingguan
- Wajib membayar upah kerja lembur
Namun, Pasal 27 PP No 35 Tahun 2021 menyebutkan pengecualian hak atas upah lembur. Karyawan dalam golongan jabatan tertentu yang mempunyai tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana, atau pengendali jalannya perusahaan, yang waktu kerjanya tidak dibatasi dan mereka mendapat upah lebih tinggi, tidak berhak atas upah kerja lembur.
Golongan jabatan yang tidak mendapat upah lembur ini harus diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Apabila tidak diatur, maka mereka berhak atas uang lembur dan pengusaha wajib membayarnya.
Waktu kerja lembur
Perusahaan yang mempekerjakan karyawan WFH lembur harus sesuai ketentuan waktu kerja lembur yang diatur dalam PP No 35 Tahun 2021 berikut:
- Lembur di hari kerja maksimal 4 jam sehari dan 18 seminggu
- Untuk perusahaan dengan 6 hari kerja, lembur di hari libur resmi atau istirahat mingguan maksimal 11 jam. Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, lembur maksimal 9 jam.
- Untuk perusahaan dengan 5 hari kerja, lembur di hari libur resmi atau istirahat mingguan maksimal 12 jam.
Sebagai contoh, apabila seorang karyawan WFH diperintahkan bekerja dari rumah pada hari Sabtu, padahal perusahaan menerapkan 5 hari kerja, maka pengusaha wajib membayar upah lembur dengan hitungan lembur hari istirahat mingguan. Perusahaan boleh mempekerjakan karyawan maksimal 12 jam dengan persetujuan yang bersangkutan. Aturan upah lembur yang harus dibayar perusahaan adalah:
- Jam ke-1 sampai ke-8, tiap jam dibayar 2 kali upah sejam
- Jam ke-9 dibayar 3 kali upah sejam
- Jam ke-10 sampai ke-12, tiap jam dibayar 4 kali upah sejam
Sanksi tidak membayar upah lembur
Apakah mempekerjakan karyawan WFH melebihi jam kerja tanpa membayar upah lembur bisa dikenai sanksi hukum?
Sesuai ketentuan Pasal 81 Poin 65 dan 66 UU Cipta Kerja, pelanggaran atas ketentuan kerja lembur dapat berakibat sanksi pidana. Perusahaan yang mempekerjakan karyawan melebihi jam kerja tanpa ada persetujuan karyawan dan/atau melebihi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu, dapat dikenai sanksi pidana denda minimal Rp5 juta dan maksimal Rp50 juta.
Sedangkan perusahaan yang tidak membayar upah kerja lembur dikenai sanksi pidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan dan/atau denda minimal Rp10 juta dan maksimal Rp100 juta.
Aplikasi hitung jam lembur dan upah lembur otomatis
Agar lebih mudah dan efisien menangani karyawan WFH lembur tanpa repot, Anda dapat menggunakan aplikasi payroll Indonesia Gadjian dan aplikasi absensi online Hadirr yang terintegrasi.
Hadirr merupakan mobile attendance untuk memantau kehadiran karyawan di banyak titik secara real-time, mencatat karyawan WFH clock-in dan clock-out, memantau agenda kerja harian, serta mencatat jam lembur karyawan. Saat pandemi, Hadirr menjadi solusi absensi yang tak hanya mudah dan cepat, tetapi juga efektif mencegah penyebaran virus karena tidak membutuhkan sentuhan ke perangkat absensi mesin fingerprint.
Baca Juga: Perhitungan Lembur Hari Libur Menurut Kemnaker
Data jam lembur karyawan di Hadirr dapat diimpor ke software Gadjian untuk dihitung upah lemburnya secara otomatis. Gadjian adalah aplikasi penggajian berbasis cloud untuk menghitung gaji karyawan secara online, termasuk komponen upah lembur. Hasil hitungan lembur akan tercantum dalam slip gaji online karyawan.
Gadjian membantu mengefisienkan beragam pekerjaan administratif HR/Finance dengan menghemat waktu dan biaya. Dengan otomatisasi, Anda tidak perlu lagi menghabiskan waktu berjam-jam dan berhari-hari untuk menghitung gaji, tunjangan, lembur, bonus, BPJS, dan PPh 21 karyawan.