Rencana revisi UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 kembali mengemuka dan memicu perdebatan akhir-akhir ini. Bahkan, sebelum draft masuk ke parlemen, penolakan sudah muncul dari serikat buruh yang menggalang unjuk rasa di depan Gedung DPR pekan lalu.
Sebelumnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengajukan draft perubahan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2011, namun DPR menolaknya. Revisi UU Ketenagakerjaan masuk kembali ke agenda prolegnas 2012, tetapi anggota dewan sepakat mencabutnya melalui sidang paripurna.
Alasan utamanya, DPR menilai revisi tersebut menguntungkan pengusaha dan merugikan pekerja. Misalnya, tidak ada lagi kewajiban perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR) dan peninjauan upah minimum dilakukan dua tahun sekali, bukan setiap tahun.
Sejak saat itu, draft revisi UU No 13 Tahun 2003 tidak pernah lagi masuk ke Senayan. Kini, di akhir periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Kementerian Ketenagakerjaan mendorong kembali upaya revisi UU yang tertunda hampir sepuluh tahun itu. Apa alasannya?
Regulasi ketenagakerjaan yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu dianggap telah usang dan tidak dapat mengikuti perubahan dunia usaha dan proses bisnis sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi yang cepat dan masif. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyebutkan revisi beleid bertujuan agar Indonesia gesit merespon dinamika pasar kerja dengan membangun ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik.
“Tujuan utamanya ya untuk melindungi pekerja dalam dunia yang berubah cepat,” kata Hanif kepada Tempo.co, pertengahan Juli 2019.
Menaker menyebut perekonomian dunia saat ini membutuhkan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Sementara UU Ketenagakerjaan saat ini dinilai terlalu kaku dan tak mampu merespon perubahan ini. Persoalan lain yang melandasi revisi adalah serapan tenaga kerja yang rendah karena dunia usaha enggan membuka lapangan kerja baru akibat biaya yang tinggi.
“Tidak berarti kalau kita menerima fleksibilitas pasar, pemerintah tidak melindungi warga negaranya. Saya sebagai pemerintah enggak bisa jamin Anda bekerja dengan satu entitas bisnis tertentu terus menerus sampai Anda mati,” ujar Hanif awal Agustus 2019 seperti dikutip Tirto.id.
Baca Juga: Hak dan Kewajiban Pekerja Menurut UU Ketenagakerjaan
Sementara itu, isu mengenai pasal-pasal yang diubah menyebar cepat di dunia maya. Berikut poin-poin yang akan direvisi yang dihimpun dari berbagai sumber:
- Hubungan kerja di Pasal 50 diubah definisinya dari “antara pengusaha dan pekerja/buruh” menjadi “antara pemberi kerja dan pekerja/buruh”.
- Cuti haid di Pasal 81, dihapuskan dengan alasan rasa nyeri haid dapat diatasi dengan obat anti nyeri.
- Pemborongan kerja (outsourcing) di Pasal 64-66 diperluas untuk semua jenis pekerjaan.
- Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di Pasal 59 ditambah jangka waktunya dari maksimal 3 tahun menjadi maksimal 5 tahun.
- Fasilitas kesejahteraan di Pasal 100 dihapuskan.
- Pemutusan hubungan kerja (PHK) atas kesalahan berat dimasukkan ke Pasal 158.
- Penetapan PHK di Pasal 151-155 ditetapkan dua pihak antara pengusaha dan pekerja/buruh tanpa melalui mekanisme persidangan.
- Kenaikan upah minimum di Pasal 88-89 diusulkan diubah menjadi 2 tahun sekali, bukan setiap tahun.
- Pesangon di Pasal 156 ayat (2), perhitungannya diubah dari “paling sedikit” menjadi “paling banyak”. Masa kerja untuk mendapatkan pesangon juga diubah menjadi 9 tahun. Pesangon diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan, tidak lagi diatur di UU, tetapi di perjanjian kerja bersama.
- Uang penghargaan masa kerja di Pasal 156 ayat (3) dihapuskan.
- Waktu kerja di Pasal 77 ditambah, sehingga jumlah jam kerja seminggu lebih dari 40 jam .
- Kerja lembur di Pasal 78 diperbolehkan melebihi 3 jam di hari kerja asal disepakati oleh pekerja/buruh.
- Mogok kerja di Pasal 137 dan 145 diatur dan dibatasi dengan prosedur ketat.
- Serikat buruh di Pasal 104 wajib melapor jika menerima bantuan dana dari luar negeri.
Namun, Hanif membantah bila draft revisi yang beredar berasal dari pemerintah. Ia menyebut revisi 14 pasal tersebut merupakan hoaks yang tidak jelas sumbernya.
“Ya yang revisi siapa. Jangan kemakan hoaks karena ada draft yang nggak jelas dari mana. Pemerintah belum mengeluarkan draft apa-apa,” terang Hanif Jumat, 16 Agustus lalu sebagaimana dikutip Kompas.com.
Hingga saat ini, menurut Menaker, proses revisi beleid masih dalam tahap kajian dan belum menghasilkan draft. Pemerintah masih menyerap aspirasi baik dari serikat pekerja, dunia usaha, maupun akademisi.
Sayangnya, rencana revisi UU Ketenagakerjaan terlanjur menimbulkan pro dan kontra. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai aturan ketenagakerjaan di Indonesia masih terlalu kaku dan kurang fleksibel. Dampaknya, biaya operasional perusahaan cukup besar.
Baca Juga: Sanksi Pidana Bagi Perusahaan yang Melanggar UU Ketenagakerjaan
“Kalau aturan terlalu rigid, biaya perusahaan jadi tinggi. Kalau biaya tinggi biasanya penyerapan tenaga kerja menjadi rendah. Harapan kami dibuat lebih netral agar penyerapan lebih besar,” kata Hariyadi dikutip CNNIndonesia.com.
Sementara Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengatakan pihaknya akan memberikan masukan kepada pemerintah mengenai enam poin yang perlu direvisi, antara lain upah, pesangon, kesejahteraan pekerja, dan outsourcing.
“Kita sudah komunikasi dengan berbagai kementerian untuk memperbaiki UU Ketenagakerjaan, tidak hanya untuk kepentingan pengusaha tetapi juga kepentingan competitiveness,” ujar Rosan seperti diberitakan Detik.com.
Senada, praktisi hukum ketenagakerjaan dari Dentons HPRP, Linna Simamora, menjelaskan revisi UU Ketenagakerjaan diperlukan bukan hanya untuk kepentingan buruh dan pengusaha, tetapi juga terkait daya saing investasi, yakni mendorong minat investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia.
Linna menilai ada beberapa hal dalam UU No 13 Tahun 2003 yang belum fleksibel bagi investasi asing, seperti aturan PHK, jenis pekerjaan PKWT yang dibatasi, masa percobaan yang terlalu pendek bagi PKWTT, dan rasio kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi.
Di lain pihak, kalangan serikat pekerja menentang revisi aturan perburuhan itu, karena dianggap merugikan pekerja. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Iqbal Said meminta pemerintah membatalkan rencana tersebut.
Iqbal menilai usulan para pengusaha untuk merevisi beleid telah menurunkan nilai perlindungan dan kesejahteraan buruh, misalnya mengurangi pesangon, memperlama kenaikan upah minimum menjadi 2 tahun, memperluas outsourcing, dan memperketat mogok. Menurut dia, dasar UU Ketenagakerjaan seharusnya adalah perlindungan dan kesejahteraan, bukan eksploitasi.
“Kalau mau diubah ya Undang-Undang terkait investasinya, jangan Undang-Undang yang menyangkut kesejahteraan buruh,” ujar Iqbal seperti ditulis Antara.
Hal yang sama disampaikan Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah. Sejumlah poin revisi dianggap memberatkan pekerja, terutama terkait pesangon, upah minimum, outsourcing, ketentuan PHK, dan masa PKWT yang semuanya diusulkan pengusaha.
“Tidak ada kepastian untuk jenjang karir, dan PHK sepihak akan dengan mudah dilakukan para pengusaha tanpa ada kompensasi atau pesangon bagi para buruh,” kata Ilham kepada Tirto.id.
Penolakan juga datang dari Ketua Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos. Menurut dia, buruh tidak akan menerima poin-poin revisi versi pemerintah dan pengusaha. Selama ini, dalam membuat kebijakan ketenagakerjaan, kata Nining, pemerintah sering tidak melibatkan pekerja/buruh sebagai salah satu pemangku kepentingan.
Baca Juga: Ringkasan Lengkap UU Ketenagakerjaan di Indonesia
Sejatinya, rencana revisi juga membuat gamang para HR perusahaan. Hal ini terkait dengan pengelolaan administrasi karyawan, yang selama ini berpedoman pada UU No 13 Tahun 2003. Revisi peraturan di parlemen akan berdampak pada perubahan atau penyesuaian sistem perhitungan di meja HR dan finance. Tentu saja, ini akan menambah pekerjaan HR.
Bila tak mau gamang dan repot, kamu dapat menggunakan HR solution Gadjian untuk memudahkan pekerjaan mengelola administrasi SDM di perusahaanmu. Keuntungannya, selain otomatis, akurat, dan efisien, sistem HR ini berbasis cloud sehingga memiliki fleksibilitas tinggi.
Tidak hanya dalam hal akses dan operasional yang fleksibel, sistem Gadjian juga didesain dapat menyesuaikan dengan perubahan aturan ketenagakerjaan di Indonesia. Misalnya, seandainya ketentuan mengenai lembur benar-benar direvisi, maka sistem hitung upah lembur karyawan dengan payroll software Gadjian otomatis menyesuaikan dengan formula yang baru. Kamu tak perlu khawatir terjadi salah hitung.
Jadi, apakah rencana pemerintah akan merevisi UU Ketenagakerjaan akan berlanjut atau batal, perusahaanmu akan tetap aman dan hemat mengelola administrasi karyawan jika menggunakan Gadjian.