Seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia, kebijakan mengenai jam kerja di berbagai perusahaan menjadi lebih longgar. Jika dahulu kebanyakan korporasi di Indonesia menetapkan jam kerja secara teratur – misalnya pukul 08.00 s.d. 16.00 – saat ini, sebagian perusahaan mulai beralih menggunakan aturan jam kerja fleksibel.
Selain itu, para pimpinan perusahaan berangsur-angsur terbuka dengan sistem kerja remote yang tidak mengharuskan seorang karyawan untuk datang ke kantor setiap harinya. Performance karyawan diukur berdasarkan penyelesaian pekerjaan, bukan berdasarkan berapa lama karyawan ‘bertahan’ di kantor.
Meskipun aturan jam kerja karyawan yang fleksibel dianggap dapat meningkatkan produktivitas, kebijakan ini tidak selalu menguntungkan. Sebuah artikel di Vice Indonesia bertajuk “Tren Jam Kerja Fleksibel Bikin Anak Muda Lupa Kalau Lembur Harusnya Dibayar” mengabarkan, sistem remote working membuat karyawan rentan bekerja lebih lama daripada waktu kerja yang seharusnya.
Baca Juga: 5 Manfaat Menerapkan Jam Kerja Fleksibel di Kantor
Kebijakan Aturan Jam Kerja Karyawan
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur perihal waktu kerja karyawan secara umum. Sebagai contoh, Pasal 77 berbunyi,
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
- 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
- 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Baca Juga: 5 Jenis Jadwal Kerja Perusahaan di Indonesia serta Kelebihan dan Kekurangannya
Idealnya, aturan ini menjadi suatu pegangan bagi perusahaan dalam menetapkan shift kerja. Ayat (3) Pasal 77 memang menyebutkan, “Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu”.
Namun, tetap saja perusahaan dihimbau untuk menetapkan jam kerja karyawan yang jelas dan tepat untuk memudahkan berbagai pihak; baik pimpinan selaku pemberi tugas, HR dan Finance yang melakukan penghitungan gaji, dan karyawan itu sendiri.
Selanjutnya, pasal 78 ayat 2 memaparkan, “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur”. Maka, dalam menentukan pola kerja karyawan, perusahaan juga harus dapat mendefinisikan ketentuan lembur, kriteria karyawan lembur, hingga perhitungan upah lembur.
Mempekerjakan karyawan dalam jam kerja yang terlampau panjang bukan hanya mengganggu produktivitas, tapi juga akan membahayakan kesehatan karyawan. Alih-alih berharap mereka memberikan upaya maksimal untuk perusahaan, pekerjaan justru akan terhambat. Jika hal ini terus dibiarkan, karyawan juga akan merasa tidak diapresiasi dan ujung-ujungnya mengajukan resign.
Baca Juga: Mengenal Sistem Hybrid Working yang Makin Dilirik Perusahaan
Pantau Kinerja Karyawan Lebih Mudah dengan Gadjian dan Hadirr
Solusi utama yang bisa diterapkan oleh perusahaan saat memberlakukan jam kerja fleksibel, adalah memastikan kinerja karyawan terpantau dan terekam dengan baik. Aplikasi Hadirr dapat digunakan oleh karyawan sebagai ‘mesin’ absen melalui smartphone; dan catatan presensi pun tercatat secara real time.
Teknologi GPS juga memungkinkan HR mengecek lokasi absen. Karyawan dapat melakukan ‘clock in’ dan ‘clock out’ sebagai penanda mulai dan berakhirnya jam kerja. Dengan demikian, karyawan dapat mengevaluasi produktivitasnya, dan perusahaan dapat memberikan kompensasi yang semestinya.
Selanjutnya, gaji beserta semua komponennya dapat dikalkulasi dengan payroll software Gadjian. Karyawan mendapatkan haknya, pekerjaan HR pun banyak terbantu.