Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian gugatan dalam uji materi atas UU No 6 Tahun 2023 yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah organisasi serikat pekerja di Indonesia sejak akhir 2023. Lewat putusan bernomor 168/PUU-XXI/2023, sebanyak 21 pasal klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja dibatalkan MK dan harus diubah karena dinilai inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945.
Tidak hanya memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, dalam putusan setebal 687 halaman tersebut, MK juga mendesak pemerintah dan legislatif untuk membentuk UU ketenagakerjaan baru dan memisahkannya dari UU Cipta Kerja dalam waktu paling lama 2 tahun. Salah satu alasannya, perumusan norma dalam UU No 6 Tahun 2023 yang mengubah norma (pasal dan ayat) dalam UU No 13 Tahun 2003 sulit dipahami secara awam, termasuk oleh pekerja/buruh.
MK juga meminta UU ketenagakerjaan baru menampung materi UU 13/2003 dan UU 6/2023, peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah UU, termasuk sejumlah peraturan pemerintah, serta substansi dan semangat sejumlah putusan MK tentang ketenagakerjaan. Proses pembentukan UU juga harus melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/buruh.
Sebenarnya, perjalanan UU Cipta Kerja sendiri penuh kontroversi sejak awal dan telah mengalami 37 kali gugatan di MK. Omnibus Law ini disahkan secara kilat sebagai UU No 11 Tahun 2020 pada November 2020, dan setahun kemudian MK memutuskan UU tersebut inkonstitusional bersyarat dan cacat formil dalam proses pembahasannya. Untuk itu, MK memberi waktu 2 tahun bagi pemerintah untuk memperbaikinya.
Namun, alih-alih merevisi UU yang ada, pemerintah justru tergesa-gesa menerbitkan Perppu Cipta Kerja No 2 Tahun 2022 dengan alasan kedaruratan. Meski mengundang banyak kritik, Perppu ini kemudian ditetapkan oleh DPR sebagai UU No 6 Tahun 2023. Kini, UU Cipta Kerja yang disahkan pada Maret 2023 itu kembali diputuskan inkonstitusional oleh MK.
Perubahan UU Cipta Kerja pasca-putusan MK
Baca Juga: Bonus Akhir Tahun Karyawan: Cara Menentukan dan Contohnya
Lalu, apa saja yang berubah dalam UU Cipta Kerja putusan MK tersebut?
Ada 7 pokok materi dan 21 pasal yang diubah oleh MK, yaitu tentang penggunaan tenaga kerja asing (TKA), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerjaan alih daya (outsourcing), istirahat dan cuti, upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pesangon. Berikut ini daftar yang dirangkum dari amar putusan MK:
1. Pasal 81 angka 4 tentang perubahan Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003
Pokok Materi | Tenaga Kerja Asing |
---|---|
Bunyi pasal | Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh pemerintah pusat. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — frasa “pemerintah pusat” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri tenaga kerja”. |
Implikasi | Dalam praktik perizinan tidak ada perubahan, sebab selama ini proses pengurusan RPTKA disahkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. |
2. Pasal 81 angka 4 tentang perubahan Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003
Pokok Materi | Tenaga Kerja Asing |
---|---|
Bunyi pasal | Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”. |
Implikasi | Perusahaan harus mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia dibanding TKA untuk jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia. |
3. Pasal 81 angka 12 tentang perubahan Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003
Pokok Materi | PKWT |
---|---|
Bunyi pasal | Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan”. |
Implikasi | Aturan jangka waktu PKWT maksimal 5 tahun tidak cukup diatur dalam PP 35/2021, tetapi juga harus ditetapkan di UU. |
4. Pasal 81 angka 13 tentang perubahan Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003
Pokok Materi | PKWT |
---|---|
Bunyi pasal | Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”. |
Implikasi | Penambahan kata “harus” memberi penekanan bahwa PKWT yang sah adalah yang dibuat tertulis dalam bahasa Indonesia dan huruf latin. |
5. Pasal 81 angka 18 tentang perubahan Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003
Pokok Materi | Alih Daya (Outsourcing) |
---|---|
Bunyi pasal | Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”. |
Implikasi | Penetapan pelaksanaan pekerjaan alih daya dilakukan oleh menteri ketenagakerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan secara tertulis. |
6. Pasal 81 angka 25 tentang perubahan Pasal 79 ayat (2) UU 13/2003
Pokok Materi | Waktu Istirahat dan Cuti |
---|---|
Bunyi pasal | Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; danb. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — frasa “istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”. |
Implikasi | Penegasan kembali bahwa istirahat mingguan diberikan 1 hari untuk 6 hari kerja seminggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja seminggu, yang sebelumnya sudah ada di UU Ketenagakerjaan, namun dihapus oleh UU Cipta Kerja, dan kini dikembalikan oleh MK. |
7. Pasal 81 angka 25 tentang perubahan Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003
Pokok Materi | Waktu Istirahat dan Cuti |
---|---|
Bunyi pasal | Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. |
Putusan MK | Inkonstitusional — kata “dapat” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. |
Implikasi | Istirahat panjang bagi karyawan di perusahaan tertentu tidak bersifat opsional, melainkan harus diberikan sesuai yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. |
8. Pasal 81 angka 27 tentang perubahan Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”. |
Implikasi | Upah harus mampu kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua untuk pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar dan layak. |
9. Pasal 81 angka 27 tentang perubahan Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”. |
Implikasi | Kebijakan upah layak harus ditetapkan dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang didalamnya terdapat unsur pemerintah daerah, dan tidak bisa diputuskan oleh pemerintah pusat sendiri. |
Baca Juga: Aturan Cuti Melahirkan Terbaru untuk Karyawan dalam UU KIA
10. Pasal 81 angka 27 tentang perubahan Pasal 88 ayat (3) UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi;Upah minimumStruktur dan skala upahUpah kerja lemburUpah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan karena alasan tertentuBentuk dan cara pembayan upahHal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upahUpah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — frasa “struktur dan skala upah” tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”. |
Implikasi | Struktur dan skala upah harus dibuat secara proporsional, sehingga mencegah terjadinya kesenjangan upah di perusahaan. |
11. Pasal 81 angka 28 tentang penyisipan Pasal 88C UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi;Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”. |
Implikasi | Upah minimum sektoral (UMSP dan UMSK) yang sebelumnya ada di UU 13/2003 dan dihapus oleh UU Cipta Kerja, kini dikembalikan lagi oleh MK. |
12. Pasal 81 angka 28 tentang penyisipan Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — frasa “indeks tertentu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”. |
Implikasi | Formula upah minimum harus memasukkan variabel kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan memperhatikan kepentingan pengusaha dan pekerja serta prinsip proporsionalitas untuk pemenuhan KHL. |
13. Pasal 81 angka 28 tentang penyisipan Pasal 88F UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — frasa “dalam keadaan tertentu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. |
Implikasi | Syarat untuk menetapkan formula upah minimum yang berbeda dari UU adalah apabila terjadi bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa dalam perekonomian global atau nasional yang ditetapkan Presiden. |
14. Pasal 81 angka 31 tentang penyisipan Pasal 90A UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan”. |
Implikasi | Pengusaha boleh menetapkan upah di atas upah minimum bersama dengan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan. |
15. Pasal 81 angka 33 tentang perubahan Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi”. |
Implikasi | Struktur dan skala upah tidak hanya ditetapkan berdasarkan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tetapi juga golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja/buruh. |
16. Pasal 81 angka 36 tentang perubahan Pasal 95 ayat (3) UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”. |
Implikasi | Dalam hal perusahaan pailit, hak lain pekerja/buruh dan upah harus didahulukan pembayarannya ketimbang kreditur preferen atau kreditur istimewa. |
17. Pasal 81 angka 39 tentang perubahan Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003
Pokok Materi | Upah |
---|---|
Bunyi pasal | Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif”. |
Implikasi | Dewan pengupahan harus dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan pengupahan bersama pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. |
18. Pasal 81 angka 40 tentang perubahan Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003
Pokok Materi | PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) |
---|---|
Bunyi pasal | Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — frasa “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”. |
Implikasi | Perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerja/buruh yang menorah PHK dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. |
19. Pasal 81 angka 40 tentang perubahan Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003
Pokok Materi | PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) |
---|---|
Bunyi pasal | Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — Frasa “pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”. |
Implikasi | PHK yang terjadi di luar perundingan bipartit hanya bisa dilakukan setelah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. |
20. Pasal 81 angka 49 tentang perubahan Pasal 157A ayat (3) UU 13/2003
Pokok Materi | PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) |
---|---|
Bunyi pasal | Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — frasa “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang PPHI”. |
Implikasi | Kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh PHK dilakukan sampai proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial berkekuatan hukum tetap sesuai ketentuan UU PPHI. |
21. Pasal 81 angka 47 tentang perubahan Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003
Pokok Materi | Pesangon |
---|---|
Bunyi pasal | Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;masa kerja 6 tahun atau lebih tetap kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. |
Putusan MK | Inkonstitusional bersyarat — frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “paling sedikit”. |
Implikasi | Besaran uang pesangon di UU merupakan ketentuan minimal, sehingga pengusaha boleh memberikan pesangon lebih besar dari ketentuan UU. |
Nah, itu tadi 21 pasal UU Cipta Kerja yang dibatalkan MK dan harus diubah sesuai dengan amar putusan. Dari daftar di atas, memang kebanyakan tidak bersinggungan langsung dengan pengelolaan ketenagakerjaan di perusahaan, kecuali beberapa pokok materi, seperti ketentuan PKWT dan jangka waktunya, penetapan upah di atas upah minimum, struktur dan skala upah, PHK, dan pesangon karyawan.
Baca Juga: Komplit! Hak Karyawan PKWT atau Kontrak UU Cipta Kerja
Kelola ketenagakerjaan lebih efisien dengan aplikasi HRIS
Agar lebih mudah mengelola ketenagakerjaan di perusahaan, sebaiknya kamu menggunakan aplikasi HRIS Gadjian yang super efisien dan bebas pusing. Banyak pekerjaan yang bisa kamu selesaikan dengan aplikasi berbasis cloud ini, di antaranya:
a. Struktur dan skala upah: Menyusun struktur dan skala upah yang proporsional sesuai dengan jenjang jabatan di perusahaan cukup mudah dengan Gadjian. Aplikasi ini bisa membuat range gaji pokok karyawan menurut level jabatan secara otomatis.
b. Kelola PKWT: Gadjian memiliki fitur reminder kontrak untuk memudahkan kamu mengingat tanggal kadaluarsa PKWT tanpa perlu repot membuka berkas perjanjian kerja.
c. Kelola cuti karyawan: Tinggalkan model cuti manual yang berbelit, dan beralihlah ke sistem cuti online. Gadjian memungkinkan proses pengajuan dan persetujuan cuti dari aplikasi, termasuk yang mensyaratkan persetujuan bertingkat di level berbeda. Saldo cuti akan terpotong otomatis tanpa perlu rekap manual.
d. Penggajian karyawan: Gadjian merupakan payroll berbasis web dengan fitur kalkulator gaji online untuk perhitungan slip gaji otomatis, termasuk perhitungan pajak PPh 21/26. Pekerjaan administrasi HR paling rumit sekarang jadi mudah dan cepat.
e. Monitoring KPI: Tidak perlu repot menggunakan software KPI terpisah, kamu bisa mengelola KPI karyawan dari pembuatan template yang dikostumisasi hingga publikasi penilaian dengan fitur performance review di Gadjian.
f. Rekrutmen karyawan: Manfaatkan modul GATS di aplikasi HR ini untuk mengelola tahapan rekrutmen karyawan lebih efisien, terpusat, dan real-time. Dari mulai kelola database pelamar, monitoring proses seleksi, hingga kolaborasi tim perekrut, bisa dilakukan dengan modul ini.
g. Kelola database karyawan: Buat database online karyawan kamu secara rapi dan terstruktur di Gadjian, dari mulai data pribadi, karir, penggajian, absensi, dan cuti. Data karyawan kamu terlindungi di server cloud dan dapat diakses kapan saja dan di mana saja.
h. Jadwal kerja shift: Atur jadwal kerja karyawan kamu dengan aplikasi Gadjian, termasuk membuat pola kerja shift berulang secara otomatis.
Yuk, coba Gadjian sekarang, dan rasakan pengalaman mengelola administrasi karyawan lebih praktis dan efisien dengan aplikasi HRIS dan payroll terbaik di Indonesia ini.
Sumber
UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. JDIH Kemnaker.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. JDIH Kemnaker.
Tracking Perkara Uji Materiil UU No. 6 Tahun 2023. Mahkamah Konstitusi RI.