Jenis Cuti Besar Karyawan dalam UU Cipta Kerja

Regulasi Cuti Besar untuk Karyawan | Gadjian.

UU No 6 Tahun 2023, tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, mengakomodasi beberapa jenis cuti besar untuk karyawan swasta. Perlu diketahui bahwa cuti besar merupakan hak untuk tidak bekerja dalam jangka waktu panjang yang jumlahnya melebihi cuti tahunan 12 hari. 

Sebagai pemimpin perusahaan atau HR, kamu perlu tahu ketentuan dan apa saja jenis cuti besar UU Cipta Kerja agar dapat membedakannya dari hak cuti tahunan (annual leave).

Cuti panjang

jenis cuti panjang

Di peraturan lama atau UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 sebelum revisi, istirahat panjang diberikan selama dua bulan, namun dengan syarat karyawan telah bekerja selama 6 tahun terus menerus di perusahaan. Ketentuannya ada di Pasal 79 ayat 2 huruf d UU Ketenagakerjaan:

Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun. 

Namun, Pasal 79 UU No 13 Tahun 2003 tersebut direvisi oleh UU Cipta Kerja melalui Pasal 81 Angka 25. Ketentuan mengenai istirahat panjang diubah dan dimasukkan ke Pasal 79 ayat 5 dan 6, seperti berikut:

5. Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

6. Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan aturan terbaru di atas, cuti istirahat panjang karyawan swasta tidak lagi ditetapkan oleh UU, melainkan diatur sendiri oleh perusahaan di perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dengan begitu, perusahaan dapat menetapkan syarat, ketentuan, dan lamanya istirahat karyawan. Jadi, tidak masalah jika perusahaan memberikan istirahat panjang 1 bulan, 2 bulan, atau 3 bulan sekalipun, dengan syarat masa kerja 5, 6, atau 7 tahun.

Lalu, apa yang dimaksud dengan ‘perusahaan tertentu’ dalam pasal mengenai istirahat panjang di UU Cipta Kerja?

Penjelasannya ada di PP No 35 Tahun 2021, pada Bagian Kelima tentang Istirahat Panjang, Pasal 35 ayat (1) dan (2):

1. Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang.

2. Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan yang dapat memberikan istirahat panjang dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Bagian ini sempat menuai protes dari kalangan serikat buruh, karena UU memberikan batasan dengan istilah ‘perusahaan tertentu’ yaitu perusahaan yang dapat memberikan cuti panjang karyawan. Dengan begitu, seolah-olah cuti panjang bukan lagi menjadi kewajiban setiap perusahaan.

Selama cuti panjang, karyawan tidak bekerja dan tetap mendapat gaji, sehingga tidak semua perusahaan mampu dan dapat memberikan cuti ini. Jadi, istirahat panjang sangat tergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan.

BACA JUGA: Prosedur Pengajuan Cuti Karyawan Swasta

Cuti melahirkan dan keguguran

jenis cuti melahirkan

Cuti melahirkan dan keguguran merupakan cuti besar, karena cuti ini diberikan 3 bulan apabila karyawan perempuan yang hamil melahirkan bayi dan 1,5 bulan apabila yang bersangkutan mengalami keguguran kandungan. Karena cuti melahirkan dan keguguran merupakan hak cuti berbayar, karyawan berhak atas gaji cuti selama menjalani masa libur kerja ini. 

Ketentuannya ada di UU Ketenagakerjaan Pasal 82 yang tidak tersentuh perubahan di Omnibus Law Cipta Kerja. Berikut ini kutipannya:

1. Pekerja/buruh berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

2. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Praktiknya, pelaksanaan cuti istirahat melahirkan 3 bulan tergantung pada kesepakatan antara karyawan dan perusahaan, dan bersifat fleksibel. Misalnya, karyawan boleh mengambil cuti 1 bulan sebelum dan 2 bulan sesudah persalinan.

Pasal 81 Angka 26 UU Cipta Kerja menjelaskan bahwa setiap karyawan yang menggunakan hak waktu istirahat cuti tahunan, cuti panjang, dan cuti melahirkan atau keguguran berhak mendapat upah penuh.

Upah penuh adalah gaji terakhir yang biasa diterima karyawan pada saat mereka bekerja, yaitu gaji pokok dan tunjangan tetap jika ada. Sedangkan tunjangan kehadiran boleh tidak dibayarkan karena karyawan tidak bekerja (hadir) selama menjalankan hak istirahatnya.

Ketentuan lainnya, karyawan melahirkan atau keguguran tidak boleh menjadi alasan perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Larangan itu ditegaskan dalam UU Cipta Kerja Pasal 81 Angka 43 tentang perubahan Pasal 153 UU Ketenagakerjaan. 

Jika pemberhentian karyawan tetap terjadi, maka PHK batal demi hukum, dan perusahaan wajib mempekerjakan kembali karyawan bersangkutan. 

Cuti haji dan umrah

jenis cuti haji umroh

Cuti ini juga termasuk jenis cuti besar karena karyawan boleh meninggalkan pekerjaannya lebih dari sebulan. Sebenarnya di UU Ketenagakerjaan tidak disebutkan berapa lama cuti haji dan umrah, sehingga hak untuk tidak bekerja ini disepakati antara karyawan dan pengusaha, atau ditetapkan di peraturan perusahaan.

Namun, secara umum, cuti umrah dapat diberikan sampai dengan 12 hari, sedangkan cuti haji diberikan sampai dengan 50 hari untuk ONH dan 26 hari untuk ONH plus. Cuti ini hanya diberikan sekali seumur hidup di perusahaan yang sama.

Cuti haji dan umrah wajib diberikan oleh perusahaan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 80 berikut ini:

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Kemudian, Pasal 93 ayat (2) huruf e menegaskan bahwa pengusaha wajib membayarkan upah karyawan yang tidak dapat bekerja atau menjalankan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. 

UU ini menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘ibadah yang diwajibkan oleh agama’ adalah ibadah yang pelaksanaannya diatur melalui peraturan perundang-undangan, seperti ibadah haji dan umrah yang diatur di UU No 8 Tahun 2019. Ketentuan ini membatasi jenis ‘ibadah wajib’ lainnya, yang berarti tidak semua bentuk ibadah wajib mendapatkan hak libur kerja.

Sama seperti cuti melahirkan dan keguguran, UU Cipta Kerja Pasal 81 Angka 43 juga menegaskan bahwa cuti menjalankan ibadah yang diperintahkan agama adalah cuti yang diupah penuh, dan tidak boleh menjadi alasan pengusaha untuk melakukan PHK.

BACA JUGA: Rumus Perhitungan Cuti Tahunan yang Diuangkan

Cuti sakit

jenis cuti sakit

Karyawan yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaan mendapat hak istirahat. Cuti ini juga termasuk ke dalam jenis cuti besar, karena UU Ketenagakerjaan mengizinkan istirahat karena sakit hingga 12 bulan lamanya, dan tetap menerima upah, meskipun tidak penuh.

Ketentuan upah yang dibayarkan perusahaan selama istirahat sakit adalah:

  1. 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah;
  2. 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah;
  3. 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah;
  4. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

Cuti sakit juga tidak boleh menjadi penyebab karyawan diberhentikan oleh pengusaha, kecuali masa istirahat sakit sudah melampaui 12 bulan. Berdasarkan ketentuan di atas, maka PHK karyawan karena alasan sakit atau cacat karena kecelakaan kerja bisa dilakukan setelah bulan ke-13.

Pengertian ‘sakit’ di UU adalah sakit menurut keterangan dokter dan disertai dengan bukti yang sah. 

Cuti di luar tanggungan

jenis cuti di luar tanggungan

Cuti ini juga disebut unpaid leave atau cuti tidak dibayar. Di aturan perundang-undangan, cuti di luar tanggungan memang tidak disebutkan secara tegas, namun boleh diberikan oleh perusahaan apabila diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 

Dasar dari cuti di luar tanggungan adalah prinsip ‘no work no pay’ di Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:

Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

Pada praktiknya, cuti di luar tanggungan mengikuti kebijakan masing-masing perusahaan. Ada perusahaan yang mengakomodasi cuti ini dan ada yang tidak.

Batas cuti di luar tanggungan juga disesuaikan dengan kepentingan karyawan.  Misalnya karyawan yang melanjutkan studi atau mengikuti dinas suami bisa diberikan beberapa bulan bahkan sampai setahun.

Cuti besar tidak dapat diuangkan, mengingat cuti ini timbul karena kondisi atau sebab tertentu, bukan merupakan hak mutlak karyawan. Apabila tidak ada kondisi yang menjadi alasan cuti, maka cuti tidak bisa diambil oleh karyawan.

Contohnya, tidak semua karyawan perempuan mendapat cuti melahirkan, kecuali bagi yang hamil, atau tidak setiap karyawan Muslim mendapat cuti haji, kecuali yang akan berangkat haji. Begitu juga dengan cuti sakit, hanya berlaku untuk karyawan yang sakit menurut keterangan dokter. 

Sebaliknya, cuti tahunan adalah cuti mutlak yang diberikan kepada semua karyawan setelah bekerja 12 bulan terus-menerus. Ada atau tidak ada kepentingan karyawan, perusahaan tetap wajib memberikan hak libur ini. Cuti tahunan yang belum gugur dapat diganti dengan uang cuti pada saat karyawan berhenti bekerja.

BACA JUGA: 3 Jenis Cuti Unik yang Kamu Belum Tahu

Kelola cuti dengan aplikasi online

cta skill hrd

Perhitungan cuti tahunan kerap menghabiskan waktu kerja HR, apalagi jika menggunakan metode konvensional dengan kertas form cuti. Sistem cuti berbasis Excel ini memiliki kelemahan pada proses administrasi yang panjang dan berbelit, serta pencatatan manual yang tinggi risiko error jika tidak dilakukan dengan cermat.

Kurang lebih, prosedur cuti konvensional dan pencatatannya seperti berikut ini:

  1. Karyawan mengambil form cuti, kemudian mengisi dan menandatanganinya
  2. Karyawan menyerahkan form cuti ke atasan untuk disetujui
  3. Jika menerapkan sistem multi-level approval, karyawan juga harus menyerahkan form ke atasan yang lebih tinggi jabatannya
  4. Menyerahkan form cuti yang sudah ditandatangani atasan ke HRD
  5. HR menyalin data form cuti ke database cuti karyawan di komputer dan menghitung sisa cuti karyawan

Dengan aplikasi cuti online Gadjian, pengelolaan dari berbagai jenis cuti karyawan menjadi sangat efisien dan ringkas, sekalipun perusahaan kamu memiliki jumlah personalia yang cukup besar. Seluruh proses dari pengajuan cuti, persetujuan, dan pencatatannya dilakukan secara digital melalui aplikasi.

Karyawan mengajukan cuti, izin, atau sakit secara online dari aplikasi employee self service (ESS) GadjianKu di smartphone Android atau iOS. Karena tanpa form kertas, pengajuan cuti bisa dilakukan dari mana pun. Seketika, atasan bisa langsung menyetujui cuti melalui aplikasi Gadjian yang berbasis web, termasuk jika mensyaratkan multi-level approval

Setelah disetujui, saldo cuti karyawan di aplikasi akan langsung terpotong otomatis sebesar jumlah hari cuti yang diambil. Jadi, data cuti bersifat real-time dan tidak memerlukan pembaruan atau rekap manual.

Untuk karyawan cuti, sakit, atau izin, Gadjian dapat menghitung potongan tunjangan kehadiran secara otomatis. Hasil perhitungannya akan langsung muncul di slip gaji online karyawan.

Gadjian adalah aplikasi payroll web terbaik untuk membantu HR perusahaan mengelola penggajian karyawan secara efisien. Otomatisasi sistem hitung gaji di aplikasi ini tidak hanya memangkas 90% waktu kerja dan menghemat biaya hingga Rp20 juta setahun, tetapi juga meningkatkan akurasi dan meminimalkan error.

Payroll Software Indonesia Untuk Mengelola Keuangan & Karyawan Perusahaan, termasuk perhitungan PPh 21, perhitungan BPJS, dan perhitungan lembur | Gadjian

Baca Juga Artikel Lainnya