Pemerintah baru saja mengesahkan 49 aturan turunan UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 yang terdiri atas 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres). Aturan hukum tersebut mencakup 11 klaster dalam Omnibus Law, termasuk klaster ketenagakerjaan.
Ada empat PP UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, yaitu:
1. PP No 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
2. PP No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
3. PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
4. PP No 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Baca Juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Aturan Ketenagakerjaan Apa Saja yang Berubah?
Apa saja ketentuan dalam aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja di atas yang perlu diketahui pemimpin perusahaan, pemilik bisnis, dan HR?
Ringkasan poin-poin penting dari Aturan Turunan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan:
Izin penggunaan TKA disederhanakan
PP No 34 Tahun 2021 memangkas perizinan penggunaan TKA dengan menghapus persyaratan dokumen IMTA (Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing). Sehingga, perusahaan yang ingin menggunakan pekerja asing hanya membutuhkan syarat RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing).
Penggunaan TKA tetap dibatasi untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu
Bagian ini tetap sama dengan peraturan sebelumnya di Perpres No 20 Tahun 2018. Penggunaan TKA dibatasi untuk jabatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan dan untuk waktu tertentu. TKA juga dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.
Jangka waktu PKWT menjadi lebih panjang, maksimal 5 tahun
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), yang sebelumnya menurut UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, paling lama diadakan untuk 2 tahun dan perpanjangan 1 tahun (keseluruhan 3 tahun), diubah melalui Pasal 8 PP No 35 Tahun 2021 menjadi paling lama 5 tahun.
Apabila pekerjaan belum selesai, dapat dilakukan perpanjangan PKWT sesuai kesepakatan pengusaha dan pekerja, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT dan perpanjangannya tidak melebihi 5 tahun.
Kompensasi bagi karyawan PKWT dengan masa kerja minimal 1 bulan
PP No 35 Tahun 2021 mengatur ketentuan baru mengenai kompensasi karyawan PKWT. Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada karyawan PKWT yang mempunyai masa kerja paling sedikit 1 bulan secara terus menerus. Namun kompensasi ini tidak berlaku bagi TKA PKWT.
Uang kompensasi diberikan saat selesai jangka waktu PKWT sebelum perpanjangan dan setelah selesai perpanjangan PKWT. Besarnya kompensasi adalah:
1. Masa kerja 12 bulan terus menerus mendapat 1 bulan upah
2. Masa kerja lebih dari 1 bulan dan kurang dari 12 bulan, kompensasi dihitung proporsional (masa kerja/12 x sebulan upah).
3. Masa kerja lebih dari 12 bulan, kompensasi dihitung proporsional (masa kerja/12 x sebulan upah).
Ganti rugi pemutusan kontrak PKWT dihapus
Ketentuan UU No 13 Tahun 2003 tentang pembayaran ganti rugi pengakhiran hubungan kerja sebelum habis jangka waktu PKWT oleh pihak yang mengakhiri hubungan kerja, sebesar upah untuk masa kerja yang belum dijalani, dihapus.
PP No 35 Tahun 2021 mengatur jika salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi yang besarnya dihitung sesuai masa kerja yang telah dijalani.
Waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam sehari dan 18 jam seminggu
PP No 35 Tahun 2021 juga menambahkan waktu kerja lembur dari sebelumnya maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Ketentuan perhitungan mengenai upah lembur tidak berubah, tetap menggunakan dasar upah per jam (1 / 173 x upah sebulan).
Berikut rumus upah lembur dalam tabel.
Lembur di hari kerja |
Lembur di hari istirahat mingguan / libur resmi (untuk 6 hari kerja) |
Lembur di hari libur resmi yang jatuh di hari kerja terpendek (untuk 6 hari kerja) |
Lembur di hari istirahat mingguan / libur resmi (untuk 5 hari kerja) |
||||
1 jam pertama |
1,5 x upah sejam |
7 jam pertama |
2 x upah sejam (tiap jam) |
5 jam pertama |
2 x upah sejam (tiap jam) |
8 jam pertama |
2 x upah sejam(tiap jam) |
Jam ke-2 |
2 x upah sejam |
Jam ke-8 |
3 x upah sejam |
Jam ke-6 |
3 x upah sejam |
Jam ke-9 |
3 x upah sejam |
Jam ke-3 |
2 x upah sejam |
Jam ke-9 |
4 x upah sejam |
Jam ke-7 |
4 x upah sejam |
Jam ke-10 |
4 x upah sejam |
Jam ke-4 |
2 x upah sejam |
Jam ke-10 |
4 x upah sejam |
Jam ke-8 |
4 x upah sejam |
Jam ke-11 |
4 x upah sejam |
Jam ke-11 |
4 x upah sejam |
Jam ke-9 |
4 x upah sejam |
Jam ke-12 |
4 x upah sejam |
Kisaran pesangon PHK lebih kecil, dari 0,5 kali sampai 2 kali ketentuan
Jika di UU No 13 Tahun 2003, pesangon untuk karyawan yang di-PHK adalah 1 kali sampai 2 kali ketentuan, maka di aturan turunan UU Cipta Kerja PP No 35 Tahun 2021 lebih kecil, yaitu 0,5 kali sampai 2 kali ketentuan, tergantung pada jenis alasan PHK.
Berikut ini perbandingannya dalam tabel.
Alasan PHK |
Pesangon di UU No 13 / 2003 |
Pesangon di PP No 35 / 2021 |
Karyawan melanggar ketentuan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama |
1 x ketentuan |
0,5 x ketentuan |
Perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja |
1 x ketentuan |
1 x ketentuan |
Perusahaan tutup akibat mengalami kerugian terus menerus selama 2 tahun, atau akibat keadaan memaksa (force majeure) |
1 x ketentuan |
0,5 x ketentuan |
Perusahaan pailit |
1 x ketentuan |
0,5 x ketentuan |
Perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pengusaha tidak bersedia mempekerjakan pekerja/buruh |
2 x ketentuan |
1 x ketentuan |
Perusahaan melakukan efisiensi |
2 x ketentuan |
1 x ketentuan |
Pekerja/buruh meninggal dunia |
2 x ketentuan |
2 x ketentuan |
Pekerja/buruh memasuki usia pensiun, namun pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh pada program pensiun |
2 x ketentuan |
1,75 x ketentuan |
Putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial karena pengusaha melakukan perbuatan:
|
2 x ketentuan |
1 x ketentuan |
Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya melampaui batas 12 bulan |
2 x ketentuan |
2 x ketentuan |
Pengusaha kecil dan mikro juga wajib membayar pesangon, namun besarnya berdasarkan kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha.
Upah minimum sektoral dihapus
Omnibus Law Ketenagakerjaan juga menghapus ketentuan di PP No 78 Tahun 2015 mengenai upah minimum sektoral, yaitu upah terendah berdasarkan sektor yang dikelompokkan menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).
PP No 36 Tahun 2021 hanya menyebutkan dua jenis upah minimum, yaitu upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kota/kabupaten (UMK), yang keduanya ditetapkan oleh gubernur.
Dasar penetapan upah minimum: kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan
Pasal 43 PP No 78 Tahun 2015 menyebutkan upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi. Ketentuan ini diubah di Pasal 25 PP No 36 Tahun 2021 yang menyebutkan upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Rumus upah per jam untuk pekerjaan paruh waktu
Dalam aturan sebelumnya, upah berdasarkan satuan waktu dibedakan menjadi upah harian, upah mingguan, dan upah bulanan. PP No 36 Tahun 2021 menambahkan upah per jam (upah sebulan x 1/162). Namun, penetapan upah per jam hanya diperuntukkan bagi pekerja paruh waktu.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Pemerintah menambahkan program baru BPJS Ketenagakerjaan lewat PP No 37 Tahun 2021, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi karyawan yang mengalami PHK, dengan manfaat berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
Uang tunai diberikan setiap bulan untuk jangka waktu maksimal 6 bulan, dengan ketentuan 45% dari upah untuk 3 bulan pertama, dan 25% upah untuk 3 bulan berikutnya. Batas upah maksimal sebagai dasar perhitungan adalah Rp 5.000.000.
Iuran JKP setiap bulan adalah 0,46% dari upah, dengan rincian 0,22% dibayar oleh pemerintah pusat dan sisanya 0,24% merupakan rekomposisi Jaminan Kecelakaan Kerja (0,14%) dan Jaminan Kematian (0,10%).
Kelola ketenagakerjaan secara otomatis dengan HRIS software Gadjian
Menghitung upah/gaji, menghitung upah lembur, menyusun struktur dan skala upah, menghitung BPJS, dan mengelola PKWT, bisa dilakukan hanya dengan satu aplikasi berbasis cloud, Gadjian. Anda akan menghemat banyak waktu dan biaya.
Baca Juga: Cara Membuat Struktur dan Skala Upah dengan Metode Poin Faktor di Gadjian
Dengan fitur hitung lembur otomatis dan cepat di aplikasi payroll ini, Anda tak perlu menggunakan kalkulasi manual seperti tabel rumus lembur di atas. Hasilnya langsung terakumulasi di slip gaji online sebagai penambah penghasilan karyawan.
Gadjian juga memiliki fitur reminder PKWT untuk membantu Anda mengingat batas waktu masa kontrak. Fitur ini secara otomatis mengirimkan pemberitahuan kepada Anda 30 hari sebelum jangka waktu PKWT berakhir. Ini akan meringankan pekerjaan, terutama jika Anda mempekerjakan banyak karyawan PKWT, dibandingkan setiap kali harus mengecek dokumen kontrak kerja.
Ingin tahu lebih banyak bagaimana Gadjian membantu mengelola administrasi SDM di perusahaan Anda secara efisien? Daftar sekarang atau coba gratis aplikasi ini.
Sumber
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. JDIH Kemnaker.
PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. JDIH Kemnaker.
PP No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. JDIH Kemnaker.
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. JDIH Kemnaker.
PP No 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. JDIH Kemnaker.
PP No. 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja, dan PHK. JDIH Kemnaker.
PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. JDIH Kemnaker.
PP No. 37 tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan. JDIH Kemnaker.