Rencana pemerintah untuk menaikkan iuran program jaminan kesehatan yang dikelola Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah muncul sejak beberapa bulan lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi IX dan XI DPR pada akhir Agustus 2019 mengusulkan rencana tersebut sebagai solusi untuk menambal defisit BPJS.
Menurut mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu, BPJS diperkirakan akan mengalami defisit sebesar Rp 32,8 triliun, atau lebih besar dari prediksi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Rp 28 triliun, apabila iuran tidak dinaikkan. Proyeksi itu dihitung berdasarkan besaran iuran saat ini, dengan jumlah peserta yang ditargetkan, serta manfaat rawat inap dan rawat jalan. Angka defisit ini membesar dari tahun lalu yang hanya Rp 9,1 triliun.
Hingga saat ini, BPJS masih memiliki utang jatuh tempo yang belum terbayar senilai Rp 11 triliun. Sementara penerimaan BPJS dari negara sudah tidak ada, sebab pemerintah sudah membayarkan langsung seluruh iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung negara, anggota TNI, Polri, dan PNS, untuk iuran sepanjang tahun 2019.
Ani mengakui sebenarnya ada opsi lain untuk “menyelamatkan” BPJS, namun hasilnya dinilai kurang optimal sehingga tetap perlu disertai kebijakan lain yang menyeluruh. Misalnya, pemerintah dapat melakukan cara instan dengan menyuntikkan dana triliunan rupiah ke BPJS, tetapi kebijakan ini hanya efektif dalam jangka pendek dan tak bisa berkelanjutan. Sehingga, BPJS di tahun-tahun berikutnya akan tetap defisit.
Usulan lain adalah melakukan cleansing data penerima manfaat seperti yang direkomendasikan BPKP, terutama peserta PBI yang iurannya ditanggung pemerintah. Tetapi menurut perhitungan pemerintah, cara ini hanya akan mendatangkan tambahan Rp 5 triliun, dan tak bisa menambal “bolong” BPJS.
Sedangkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, menurut estimasi Kemenkeu, akan mendatangkan surplus pada tahun 2020 sebesar Rp 17 triliun sehingga mampu menambal defisit tahun sebelumnya. Tren surplus juga akan berlanjut di tahun-tahun berikutnya.
Baca Juga: Menghitung Iuran BPJS Kesehatan Karyawan
Kemenkeu mengusulkan kenaikan premi 100% untuk semua kelas BPJS, namun Komisi IX keberatan dengan rencana tersebut dan meminta pemerintah menunda sampai BPJS melakukan cleansing data. DPR menilai kenaikan iuran dua kali lipat akan semakin memberatkan peserta mandiri kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP), terutama yang selama ini masih menunggak iuran.
Sekalipun demikian, pemerintah tetap bergeming dengan rencananya. Pada 24 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini sekaligus menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Merujuk pada Perpres tersebut, tidak hanya peserta mandiri yang terkena imbas kenaikan iuran, melainkan juga perusahaan atau badan usaha swasta yang selama ini membayar sebagian besar premi peserta kategori pekerja penerima upah (PPU) karyawan. Sesuai ketentuan, perusahaan membayar iuran BPJS karyawannya 4% (dari total 5%) gaji karyawan.
Setidaknya, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan perusahaan terkait kenaikan iuran BPJS tahun depan, antara lain:
1. Batas upah sebagai dasar perhitungan iuran bagi peserta PPU yang disebutkan dalam Pasal 32 Perpres No 75/2019 adalah:Batas paling tinggi gaji/upah per bulan sebesar Rp 12 juta.
a. Batas paling rendah gaji atau upah per bulan sebesar upah minimum kabupaten/kota (UMK).
b. Dalam hal pemerintah daerah tidak menetapkan UMK, maka yang menjadi dasar perhitungan adalah upah minimum provinsi (UMP).
c. Ketentuan batas paling rendah tidak berlaku bagi pemberi kerja yang mendapatkan penangguhan dari kewajiban membayar UMK/UMP dari pemerintah daerah setempat.
2. Besarnya iuran yang ditetapkan dalam Pasal 30 untuk peserta PPU tidak mengalami perubahan, yakni:
a. 4% dibayar oleh pemberi kerja
b. 1% dibayar oleh peserta
3. Upah karyawan yang dijadikan dasar perhitungan iuran peserta PPU yang diatur dalam Pasal 33 adalah gaji atau upah pokok dan tunjangan tetap.
4. Ketentuan batas upah paling tinggi bagi peserta PPU karyawan swasta mulai berlaku tanggal 1 Januari 2020.
Dengan perubahan batas maksimal gaji sebagai dasar perhitungan premi karyawan, dari Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta, maka iuran BPJS Kesehatan perusahaan akan mengalami kenaikan. Perubahan batas upah tersebut menyebabkan iuran BPJS karyawan yang gajinya di atas Rp 8.000.000 menjadi lebih besar. Jika perusahaan saat ini membayar iurannya 4% dari upah atau maksimal Rp 320.000, maka mulai tahun 2020, perusahaan membayar maksimal Rp 480.000.
Baca Juga: Aturan BPJS Karyawan Kontrak
Ini berarti pengeluaran perusahaan akan membengkak. Sebagai catatan, hasil audit BPKP menemukan ada 2.348 perusahaan yang saat ini melakukan manipulasi data gaji karyawannya, dengan tujuan agar perusahaan membayar lebih kecil dari seharusnya. Dengan fakta ini, kenaikan iuran tahun 2020 berpotensi mendorong lebih banyak perusahaan bertindak “nakal”.
Agar perusahaanmu tidak terkena sanksi, sebaiknya kamu tetap melaporkan data karyawan sesuai sebenarnya saat mendaftarkan kepesertaan mereka. Sedangkan untuk menghitung iuran BPJS Kesehatan, kamu dapat menggunakan software HR Gadjian. Aplikasi penggajian ini memiliki fitur BPJS untuk memudahkan admin dalam hitung iuran BPJS Kesehatan secara otomatis, baik yang dibayarkan oleh perusahaan maupun yang ditanggung oleh karyawan melalui potong gaji.
Dengan Gadjian, kamu tak perlu repot menghitung manual iuran BPJS Kesehatan di form gaji Excel yang menghabiskan waktu. Sebab, perhitungan iuran jaminan kesehatan akan otomatis terakumulasi dalam slip gaji online karyawan, beserta pajak PPh 21-nya. Dengan Gadjian, pekerjaan penggajian karyawanmu menjadi lebih mudah dan lebih cepat.