Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah merupakan kewajiban yang melekat pada setiap pemeluk agama Islam di dunia. Tidak memandang status sosial dan profesi, apakah PNS, karyawan swasta, pengusaha, atau petani, semuanya dibebani kewajiban berhaji yang dilaksanakan sekali seumur hidup.
Bagi karyawan swasta, pergi haji berarti meninggalkan pekerjaan selama lebih dari sebulan, sehingga perlu mengajukan izin atau cuti haji. Untuk urusan ini, pemerintah telah memberikan aturan lengkap cuti haji melalui peraturan perundang-undangan.
Ibadah Wajib yang Diatur UU
Cuti haji merupakan cuti khusus bagi karyawan Muslim yang akan menjalankan ibadah yang diperintahkan agama. Dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, bagian Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf e, yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah ibadah wajib yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, ibadah haji diatur oleh UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Cuti Haji Hanya Sekali
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan No 78 Tahun 2015, Pasal 28, cuti haji hanya diberikan sekali selama pekerja/buruh bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Ini sesuai perintah agama bahwa ibadah haji yang diwajibkan hanya sekali seumur hidup. Karena itu, sesuai ketentuan ketenagakerjaan, perusahaan tidak wajib memberikan cuti haji bagi karyawan yang ingin berhaji untuk yang kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya.
Jangka Waktu Cuti Haji
Penyelenggaraan haji reguler oleh Kementerian Agama membutuhkan waktu sekitar 40 hari, sedangkan haji plus yang dikelola biro umrah dan haji yang mengantongi izin resmi dari kementerian membutuhkan waktu lebih singkat, yaitu 15 hingga 26 hari. PNS dapat mengajukan cuti maksimal 50 hari sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 41 Tahun 2015, tetapi bagaimana dengan karyawan swasta?
UU Ketenagakerjaan tidak menyebutkan berapa jangka waktu cuti haji bagi karyawan, namun jika mengacu Pasal 93 ayat (5), pelaksanaan cuti haji ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dengan demikian, jangka waktu cuti haji bisa disepakati antara karyawan dan perusahaan.
Cuti Haji Tetap Diupah
Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. Sedangkan Pasal 24 ayat (2) dan (4) PP Pengupahan menegaskan bahwa menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya merupakan salah satu alasan pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan yang tetap dibayar upahnya.
Baca Juga: Jika Karyawan Cuti Haji, Apakah Mereka Tetap Mendapatkan Upah?
Besarnya Upah Cuti Haji
Ketentuan di Pasal 28 PP Pengupahan menjelaskan bahwa karyawan yang cuti haji tetap diupah sebesar upah yang diterima oleh pekerja/buruh. Artinya, pengusaha wajib membayar upah penuh yang biasa dibayarkan kepada karyawan yang bersangkutan (gaji pokok dan tunjangan tetap). Namun tunjangan kehadiran, misalnya uang makan dan/atau transportasi, boleh tidak diberikan.
Sanksi Bagi Perusahaan yang Tidak Mengupah Cuti Haji
Perusahaan yang tidak membayar upah karyawan yang mengajukan cuti haji, sesuai ketentuan Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, diancam sanksi pidana penjara sedikitnya 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 400 juta.
Cuti Haji Di Luar Cuti Tahunan dan Cuti Besar
Dalam UU Ketenagakerjaaan, cuti haji muncul dari kondisi yang terdapat pada Pasal 93 ayat (2), yang mana pekerja/buruh tidak masuk kerja atau tidak dapat bekerja karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
Artinya, cuti haji bukan merupakan hak istirahat, tetapi diberikan saat karyawan berhalangan karena suatu sebab, sama seperti cuti melahirkan atau keguguran dan cuti menikah. Sedangkan cuti tahunan 12 hari dan cuti besar 2 bulan merupakan hak istirahat yang diatur dalam Pasal 79. Dengan demikian, cuti haji tidak mengurangi jatah cuti tahunan atau cuti besar karyawan.
Mengelola cuti karyawan merupakan pekerjaan administrasi HR. Tidak hanya mengenai perhitungan hak karyawan, cuti juga terkait perencanaan tugas/pekerjaan yang ditinggalkan oleh karyawan untuk sementara.
Kini, kamu dapat mengelola cuti lebih mudah dan cepat dengan menggunakan Gadjian. HR software berbasis cloud ini memungkinkan perusahaanmu menerapkan sistem cuti online menggantikan prosedur cuti manual yang lama dan berbelit. Prosesnya tidak lagi menggunakan form cuti karyawan, tetapi melalui aplikasi yang dapat diakses di smartphone.
Baca Juga: Ringkasan Lengkap Hak Cuti Karyawan Menurut Depnaker
Ini memungkinkan pengajuan dan persetujuan lebih cepat, tanpa kertas, dan bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Selain itu, kamu tak perlu melakukan rekap data cuti karyawan setiap saat untuk mengetahui sisa cuti karyawan, sebab sistem Gadjian mencatat data cuti secara real-time. Cuti yang disetujui secara otomatis langsung mengurangi jatah cuti karyawan bersangkutan.
Sedangkan untuk perhitungan hak karyawan berupa gaji bulanan, payroll software ini bisa membantumu menghitung lebih cepat, lebih akurat, dan lebih hemat biaya. Misalnya, perusahaanmu memberikan tunjangan kehadiran berdasarkan data absensi, maka secara otomatis sistem hitung gaji online Gadjian tidak memasukkan perhitungan tunjangan kehadiran untuk karyawanmu yang cuti haji.